Waspada "No True Scotsman": Saat Logika Rusak Menciptakan Gatekeeping Toksik

Nov 9, 20253 min read
Logical FallacyNo True ScotsmanGatekeepingCritical ThinkingStudi KasusDebat Teknologi

Dalam diskusi panas di media sosial, seringkali kita terjebak bukan pada adu argumen yang sehat, melainkan pada adu sentimen yang didasari oleh logika yang cacat (logical fallacy). Salah satu yang paling sering muncul, namun jarang disadari, adalah "No True Scotsman".

Kesesatan berpikir ini berbahaya karena sering digunakan sebagai alat pembenaran untuk melakukan gatekeeping tindakan membatasi akses atau hak seseorang untuk masuk ke dalam suatu komunitas atau ranah tertentu.

Artikel ini akan membedah apa itu fallacy "No True Scotsman", bagaimana mekanismenya, dan melihat contoh nyatanya dalam perdebatan industri terkini.

Ilustrasi otak manusia dan puzzle logika
Memahami cacat logika membantu kita berpikir lebih jernih dan adil. Foto oleh Unsplash.

1. Apa itu "No True Scotsman"?

"No True Scotsman" adalah sebuah upaya dadakan untuk mempertahankan klaim umum yang tidak berdasar ketika dihadapkan pada bukti yang menyanggahnya. Caranya bukan dengan mengakui kesalahan klaim tersebut, melainkan dengan mengubah definisi subjeknya agar bukti penyanggah tersebut tidak lagi relevan.

Struktur Dasarnya:

  • Orang A: "Semua orang Skotlandia suka bubur."
  • Orang B: "Tapi paman saya orang Skotlandia, dan dia benci bubur."
  • Orang A: "Yah, berarti pamanmu itu bukan orang Skotlandia sejati (no TRUE Scotsman)."

Di sini, Orang A tidak punya kriteria objektif tentang apa itu "orang Skotlandia sejati", selain kriteria dadakan bahwa mereka harus suka bubur agar argumen awalnya tetap "benar".

2. Dari Logika Cacat Menjadi Gatekeeping

Ketika fallacy ini diaplikasikan dalam komunitas profesional atau hobi, ia berubah menjadi alat gatekeeping.

Senior atau anggota lama menggunakan definisi "sejati" yang subjektif untuk mengucilkan pendatang baru atau orang luar yang mereka anggap tidak layak, terlepas dari kompetensi aktual orang tersebut.

Ini menciptakan lingkungan yang toksik di mana validitas seseorang dinilai bukan dari karyanya, melainkan dari apakah ia memenuhi kriteria semu yang dibuat oleh si "penjaga gerbang".

3. Studi Kasus: Huru-hara Kelas Teknologi

Contoh nyata yang segar adalah perdebatan baru-baru ini di komunitas developer. Ketika seorang figur publik (yang dikenal sebagai content creator/filmmaker) membuka kelas pemrograman, gelombang penolakan muncul.

Banyak kritik yang valid (misalnya soal kondisi pasar kerja yang sulit), namun tak sedikit yang jatuh ke lubang No True Scotsman:

"Seorang developer beneran pasti paham etika industri dan tidak akan jualan kelas di saat seperti ini. Kalau dia jualan, berarti dia cuma cari uang, bukan developer sejati."

Sekelompok orang sedang berdiskusi dan berkolaborasi
Komunitas yang sehat dibangun di atas inklusivitas, bukan eksklusivitas semu. Foto oleh Unsplash.

Argumen ini cacat karena:

  1. Tidak ada definisi tunggal tentang "developer beneran".
  2. Mengajar coding tidak secara otomatis menghilangkan status seseorang sebagai praktisi yang kompeten.
  3. Fokusnya bergeser dari menguji kualitas materi kelasnya menjadi menyerang identitas pengajarnya.

4. Bagaimana Menghindarinya?

Agar tidak terjebak menjadi pelaku gatekeeping berbasis fallacy ini, kita perlu membiasakan berpikir kritis:

  • Fokus pada Substansi, Bukan Label: Nilailah sesuatu berdasarkan kualitas objektifnya (misal: apakah kurikulumnya bagus? apakah kodenya efisien?), bukan siapa yang membuatnya.
  • Definisikan Kriteria di Awal: Jika ingin berargumen tentang suatu kelompok, pastikan kriterianya jelas sejak awal, jangan diubah di tengah jalan hanya karena ada bukti yang tidak sesuai keinginan kita.
  • Terbuka pada Pengecualian: Dunia ini kompleks. Generalisasi absolut ("semua X pasti Y") hampir selalu salah. Akui saja jika ada pengecualian, itu tidak membuat argumen utama kita lemah.

Kesimpulan

"No True Scotsman" adalah jalan pintas intelektual yang menggoda karena membuat kita merasa paling benar dan eksklusif. Namun, dalam jangka panjang, hal ini hanya akan merugikan komunitas dengan menutup pintu bagi perspektif baru dan inovasi yang mungkin dibawa oleh "orang luar". Mari lebih bijak dalam berlogika.

Romi Muharom